Alm. Sayyid Husain Fadhlullah
Ayatullah
al-Udzma Sayyid Muhammad Hussein Fadlullah lahir tahun 1354 Hq di kota suci Najaf dari sebuah
keluarga ulama.
Allamah
Hussein Fadlullah melewati masa kecil dan pendidikannya di bawah bimbingan ayahnya, Sayyid
Abdurrauf Fadlullah, marji Syiah masa itu. Hussein Fadlullah kecil ikut sekolah
tradisional masa itu dan mempelajari bagaimana membaca, menulis dan qiraah
al-Quran. Namun pendidikan keras yang diterapkan oleh sekolah itu yang
dikelola oleh seorang tua membuat Hussein Fadlullah tidak betah belajar di sana.
Dengan segera ayahnya mencarikan sebuah pusat pendidikan bernama Muntada
an-Nasyr yang menggunakan metode pendidikan baru.
Hussein
Fadlullah langsung duduk di kelas tiga dan ketika duduk di kelas empat ia meninggalkan sekolah dan
memulai pendidikan agamanya di usia 9 tahun. Berbarengan dengan
pendidikan agamanya, Hussein Fadlullah mulai memperhatikan perkembangan
yang terjadi di masanya. Hussein Fadlullah mengikuti perkembangan yang
ada lewat membaca majalan-majalah Mesir. Lebanon dan tidak lupa
majalah Irak.
Sayyid
Muhammad Hussein Fadlullah mempelajari sejumlah pelajaran seperti nahwu, sharf, ma’ani, bayan
hingga logika dan ushul fiqih pada ayahnya. Pada masa itu ia tidak berguru
pada orang lain. Ketika pelajarannya sampai pada buku Kifayah al-Ushul jilid
kedua, Sayyid Hussein Fadlullah akhirnya berguru pada seorang ulama bernama
Mojtaba Lankarani, ulama dari Iran.
Setelah
menyelesaikan buku Kifayah al-Ushul, Sayyid Hussein Fadlullah mengikuti kuliah tingkat tinggi
(bahts kharij) pada sejumlah marji antara lain, Sayyid Abul Qasin Khu’i, Sayyid Muhsin
al-Hakim, Sayyid Mahmoud Shahroudi dan Syeikh Hussein al-Hilli. Di
samping mempelajari mata-mata kuliah fiqih dan ushul fiqih, Hussein Fadlullah juga
mempelajari sebagian dari buku al-Asfar al-Arba’ah, buku filsafat yang lebih dikenal
dengan al-Hikmah al-Muta’aliyah karya Mulla Shadr pada gurunya Badkubeh. Sayyid
Hussein Fadlullah juga sempat belajar pada Sayyid Muhammad Baqir Shadr selama
lima tahun. Gurunya Sayyid Khu’i menasihatinya agar menyeriusi pelajarannya
bersama Syahid Shadr.
Pada
tahun 1952, di usia 17 tahun untuk pertama kalinya Hussein Fadlullah menuju Lebanon untuk
menengok keluarganya di sana. Perjalanannya bersamaan dengan peringatah hari
ke-40 meninggalnya Sayyid Muhsin Amin al-‘Amili. Hussein Fadlullah kemudian
membacakan kasidah memuji ketokohan dan kepribadian Sayyid Muhsin al-‘Amili.
Dalam
kasidah yang dibacakannya, Sayyid Hussein Fadlullah banyak menyinggung masalah
politik, termasuk persatuan dan kebangkitan Islam serta mencela imigrasi para
pemuda dan imperialisme Perancis.
Surat-surat
kabar Lebanon waktu itu menilai kasidah yang diucapkan Sayyid Hussein Fadlullah sangat
provokatif.
Pada
tahun 1966, sejumlah pendiri organisasi keagamaan Usrah al-Taakkhi yang terletak di pinggiran timur
kota Beirut mengajak Sayyid Hussein Fadlullah untuk tinggal di sana. Hussein
Fadlullah menerima tawaran itu dan pada tahun itu juga beliau memastikan untuk
tinggal selamanya di sana.
Allamah
Sayyid Hussein Fadlullah sejak masa mudanya tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama tapi juga
mengkaji masalah-masalah yang berada di luar itu. Dengan mendalami sastra
membaca majalah-majalah seperti Al-Katib Taha Hussein, beliau secara
perlahan mengasah kemampuan menciptakan dan melantunkan syair. Beliau
juga menulis tiga buku syair.
Pada
tahun 2001, Allamah Fadlullah menerbitkan Jamatul Ulama Najaf, sebuah majalah Kebudayaan-Islam,
bersama-sama dengan Sayyid Muhammad Baqir Shadr dan Syeikh Muhammad
Mahdi Shamshuddin. Di tahun kedua, kolom utama majalah tersebut bernama
Kalimatuna (Ucapan kami). Sebelumnya, artikel utama itu bernama Risalatuna
(Risalah kami) dan ditulis oleh Sayyid Muhammad Baqir Shadr.
Allamah
Fadlullah melanjutkan aktivitas penulisan artikel dan buku hingga enam tahun. Di Irak beliau
berperan urgen dalam pembentukan gerakan Syiah bersama Sayyid Muhammad Baqir Sadr.
Hasil dari perjuangan kedua tokoh tersebut, akhirnya lahirlah gerakan
Syiah Irak bernama Hizbud Dakwah Islamiyah.
Sekembalinya
ke Lebanon pada tahun 1966, beliau mulai beraktivitas secara meluas di bidang ilmiah,
budaya, dan sosial, yang hingga kini meski telah 45 tahun berlalu, dampak dan
pengaruhnya masih dapat disaksikan.
Dengan
mengadakan berbagai pengajian, pelajaran tafsir al-Quran, agama, dan akhlak, beliau mampu
menciptakan perubahan hingga ke beberapa generasi di Lebanon. Bahkan di satu
kesempatan, beliau pernah mengatakan, “Saya bangga karena ikut menggembleng
sebagian besar pejuang dan pegiat agama.”
Pembentukan
sebuah pondok pesantren bernama al-Ma’had al-Shar’i al-Islami dengan tujuan mendidik para
pelajar agama, merupakan di antara upaya sosial-budaya beliau. Selain
al-Ma’had al-Shar’i yang terletak di Beirut, Allamah Fadlullah juga mendirikan hauzah
akhwat di Beirut, Tyer dan al-Murtadha di Damaskus yang disebut Sayyidah Zainab.
Sayyid
Hussein Fadlullah hingga kini melahirkan lebih dari 70 karya yang bila dikumpulkan menjadi lebih
dari seratus jilid. Sebagian buku-buku beliau hasil transkrim pidato dan
sebagian lainnya merupakan catatan-catatan pelajaran fiqih dan ushul fiqih tingkat
tinggi yang ditulis oleh murid-muridnya.
Aktivitas
Sosial
Selain
kegiatan ilmiah, budaya dan politiknya di Lebanon Suriah, Sayyid Hussein Fadlullah juga punya
aktivitas sosial yang cukup luas. Beliau mengayomi anak-anak yatim, syuhada, cacat
dan fakir miskin. Beliau mendirikan yayasan sosil bernama Komunitas al-Mirats
al-Khairiyah sekaligus menjadi pemimpinnya. Dengan bantuan para donator
dari negara-negara Arab Teluk Persia dan Lebanon, Allamah Sayyid Hussein
Fadlullah mendirikan sejumlah pusat dan yayasan sosial yang modern untuk mendidik
anak-anak yatim, khususnya anak-anak para syahid dan anak-anak miskin.
Allamah Fadlullah mendirikan rumah sakit, poliklinik dan masjid-masjid.
Di
pusat-pusat yayasan sosial ini, Ayatullah Fadlullah memberikan tempat tinggal bagi mereka yang
membutuhkan dan mereka melanjutkan pendidikannya di kawasan ini.(IRIB/SL/MZ)