Minggu, 13 November 2016

Alm. Sayyid Husain Fadhlullah




Ayatullah al-Udzma Sayyid Muhammad Hussein Fadlullah lahir tahun 1354 Hq di kota suci Najaf dari sebuah keluarga ulama.
Allamah Hussein Fadlullah melewati masa kecil dan pendidikannya di bawah bimbingan ayahnya, Sayyid Abdurrauf Fadlullah, marji Syiah masa itu. Hussein Fadlullah kecil ikut sekolah tradisional masa itu dan mempelajari bagaimana membaca, menulis dan qiraah al-Quran. Namun pendidikan keras yang diterapkan oleh sekolah itu yang dikelola oleh seorang tua membuat Hussein Fadlullah tidak betah belajar di sana.
Dengan segera ayahnya mencarikan sebuah pusat pendidikan bernama Muntada an-Nasyr yang menggunakan metode pendidikan baru.
Hussein Fadlullah langsung duduk di kelas tiga dan ketika duduk di kelas empat ia meninggalkan sekolah dan memulai pendidikan agamanya di usia 9 tahun. Berbarengan dengan pendidikan agamanya, Hussein Fadlullah mulai memperhatikan perkembangan yang terjadi di masanya. Hussein Fadlullah mengikuti perkembangan yang ada lewat membaca majalan-majalah Mesir. Lebanon dan tidak lupa majalah Irak.
Sayyid Muhammad Hussein Fadlullah mempelajari sejumlah pelajaran seperti nahwu, sharf, ma’ani, bayan hingga logika dan ushul fiqih pada ayahnya. Pada masa itu ia tidak berguru pada orang lain. Ketika pelajarannya sampai pada buku Kifayah al-Ushul jilid kedua, Sayyid Hussein Fadlullah akhirnya berguru pada seorang ulama bernama Mojtaba Lankarani, ulama dari Iran.
Setelah menyelesaikan buku Kifayah al-Ushul, Sayyid Hussein Fadlullah mengikuti kuliah tingkat tinggi (bahts kharij) pada sejumlah marji antara lain, Sayyid Abul Qasin Khu’i, Sayyid Muhsin al-Hakim, Sayyid Mahmoud Shahroudi dan Syeikh Hussein al-Hilli. Di samping mempelajari mata-mata kuliah fiqih dan ushul fiqih, Hussein Fadlullah juga mempelajari sebagian dari buku al-Asfar al-Arba’ah, buku filsafat yang lebih dikenal dengan al-Hikmah al-Muta’aliyah karya Mulla Shadr pada gurunya Badkubeh. Sayyid Hussein Fadlullah juga sempat belajar pada Sayyid Muhammad Baqir Shadr selama lima tahun. Gurunya Sayyid Khu’i menasihatinya agar menyeriusi pelajarannya bersama Syahid Shadr.
Pada tahun 1952, di usia 17 tahun untuk pertama kalinya Hussein Fadlullah menuju Lebanon untuk menengok keluarganya di sana. Perjalanannya bersamaan dengan peringatah hari ke-40 meninggalnya Sayyid Muhsin Amin al-‘Amili. Hussein Fadlullah kemudian membacakan kasidah memuji ketokohan dan kepribadian Sayyid Muhsin al-‘Amili.
Dalam kasidah yang dibacakannya, Sayyid Hussein Fadlullah banyak menyinggung masalah politik, termasuk persatuan dan kebangkitan Islam serta mencela imigrasi para pemuda dan imperialisme Perancis.
Surat-surat kabar Lebanon waktu itu menilai kasidah yang diucapkan Sayyid Hussein Fadlullah sangat provokatif.
Pada tahun 1966, sejumlah pendiri organisasi keagamaan Usrah al-Taakkhi yang terletak di pinggiran timur kota Beirut mengajak Sayyid Hussein Fadlullah untuk tinggal di sana. Hussein Fadlullah menerima tawaran itu dan pada tahun itu juga beliau memastikan untuk tinggal selamanya di sana.
Allamah Sayyid Hussein Fadlullah sejak masa mudanya tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama tapi juga mengkaji masalah-masalah yang berada di luar itu. Dengan mendalami sastra membaca majalah-majalah seperti Al-Katib Taha Hussein, beliau secara perlahan mengasah kemampuan menciptakan dan melantunkan syair. Beliau juga menulis tiga buku syair.
Pada tahun 2001, Allamah Fadlullah menerbitkan Jamatul Ulama Najaf, sebuah majalah Kebudayaan-Islam, bersama-sama dengan Sayyid Muhammad Baqir Shadr dan Syeikh Muhammad Mahdi Shamshuddin. Di tahun kedua, kolom utama majalah tersebut bernama Kalimatuna (Ucapan kami). Sebelumnya, artikel utama itu bernama Risalatuna (Risalah kami) dan ditulis oleh Sayyid Muhammad Baqir Shadr.
Allamah Fadlullah melanjutkan aktivitas penulisan artikel dan buku hingga enam tahun. Di Irak beliau berperan urgen dalam pembentukan gerakan Syiah bersama Sayyid Muhammad Baqir Sadr. Hasil dari perjuangan kedua tokoh tersebut, akhirnya lahirlah gerakan Syiah Irak bernama Hizbud Dakwah Islamiyah.
Sekembalinya ke Lebanon pada tahun 1966, beliau mulai beraktivitas secara meluas di bidang ilmiah, budaya, dan sosial, yang hingga kini meski telah 45 tahun berlalu, dampak dan pengaruhnya masih dapat disaksikan.
Dengan mengadakan berbagai pengajian, pelajaran tafsir al-Quran, agama, dan akhlak, beliau mampu menciptakan perubahan hingga ke beberapa generasi di Lebanon. Bahkan di satu kesempatan, beliau pernah mengatakan, “Saya bangga karena ikut menggembleng sebagian besar pejuang dan pegiat agama.”
Pembentukan sebuah pondok pesantren bernama al-Ma’had al-Shar’i al-Islami dengan tujuan mendidik para pelajar agama, merupakan di antara upaya sosial-budaya beliau. Selain al-Ma’had al-Shar’i yang terletak di Beirut, Allamah Fadlullah juga mendirikan hauzah akhwat di Beirut, Tyer dan al-Murtadha di Damaskus yang disebut Sayyidah Zainab.
Sayyid Hussein Fadlullah hingga kini melahirkan lebih dari 70 karya yang bila dikumpulkan menjadi lebih dari seratus jilid. Sebagian buku-buku beliau hasil transkrim pidato dan sebagian lainnya merupakan catatan-catatan pelajaran fiqih dan ushul fiqih tingkat tinggi yang ditulis oleh murid-muridnya.
Aktivitas Sosial
Selain kegiatan ilmiah, budaya dan politiknya di Lebanon Suriah, Sayyid Hussein Fadlullah juga punya aktivitas sosial yang cukup luas. Beliau mengayomi anak-anak yatim, syuhada, cacat dan fakir miskin. Beliau mendirikan yayasan sosil bernama Komunitas al-Mirats al-Khairiyah sekaligus menjadi pemimpinnya. Dengan bantuan para donator dari negara-negara Arab Teluk Persia dan Lebanon, Allamah Sayyid Hussein Fadlullah mendirikan sejumlah pusat dan yayasan sosial yang modern untuk mendidik anak-anak yatim, khususnya anak-anak para syahid dan anak-anak miskin. Allamah Fadlullah mendirikan rumah sakit, poliklinik dan masjid-masjid.
Di pusat-pusat yayasan sosial ini, Ayatullah Fadlullah memberikan tempat tinggal bagi mereka yang membutuhkan dan mereka melanjutkan pendidikannya di kawasan ini.(IRIB/SL/MZ)